Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhajir Effendy mengutarakan
niatnya untuk meneruskan program semacam full day school (FDS) yang
disesuaikan dan lebih tepat disebut co-extracurricular. Program tersebut
sudah lama dan bisa berjalan baik sebagaimana yang sudah diterapkan
puluhan tahun di Pondok Pesantren (Ponpes) Modern Darussalam Gontor,
Ponorogo.
“Tapi namanya bukan FDS. Ya, entah apa namanya nanti. Yang pasti
konsepnya tidak jauh dengan pola FDS,” ujar Muhadjir menjawab pertanyaan
wartawan usai meresmikan pembukaan Pekan Olahraga dan Seni (Porseni)
serta Olimpiade Sains Ponpes Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jatim,
Minggu (21/8). Menurut pimpinan Ponpes Modern Darussalam Gontor, KH
Hasan Abdullah Syahal, acara tersebut diikuti oleh 1800 santri dari 40
ponpes seluruh Indonesia.
Lebih lanjut Mendikbud mengatakan, bahwa program tersebut sebenarnya
tidak bermasalah dan dipastikan akan bisa dilaksanakan. “Seperti yang
ada di Ponpes Modern Darussalam Gontor ini. Ponpes ini sejak lama
menerapkan pola yang lebih dari FDS. Bahkan, yang ada di sini bisa
disebut full day school and night (FDSN),” tandas Muhadjir sambil
menambahkan, bahwa Ponpes Modern Darussalam Gontor tersebut dapat
dikatakan sebagai pelopor.
Muhadjir mengakui, memang banyak pro kontra seputar wacana FDS. Namun
rencana program itu akan tetap dijalankan karena menurutnya, mereka yang
menolak itu belum sepenuhnya memahami konsep tersebut. Apalagi, lanjut
dia, FDS yang disesuaikan itu merupakan perintah dari Presiden Jokowi.
“Program ini merupakan perintah Presiden. Kan pasti sudah ada pertimbangan untung ruginya. Masa tidak dilaksanakan,” tuturnya.
Ia pun menambahkan, jika di waktu-waktu sebelumnya muncul anggapan olok-olokan
santri terkesan menjadi anak tiri Kemendikbud, mulai kini hal itu tidak
lagi. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu
menegaskan, pemerintahan Jokowi dalam tiga tahun terakhir fokus
menghilangkan kesenjangan, baik sosial, ekonomi maupun pendidikan.
“Itu berarti tidak ada lagi kesenjangan antara pondok pesantren dan
sekolah umum lainnya. Di antaranya, santri juga akan mendapat pembagian
Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang selama ini terkesan hanya berlaku bagi
siswa sekolah formal. Jadi, para santri yang kondisi sosial ekonomi
orang tuanya tidak mampu dan mengenyam pendidikan di Ponpes Modern
Darussalam Gontor, juga bisa mendapatkan KIP,” ujarnya.
Muhadjir mengakui, saat ini regulasi konsep KIP yang akan diterima
santri masih sedang dirumuskan. “Sekarang ini saya belum bisa
menjelaskan bagaimana regulasinya. Tapi yang jelas, KIP merupakan milik
semua siswa di Indonesia. Baik di sekolah di bawah naungan Kemdikbud
maupun Kemag,” ujar Muhadjir.
Dukung FDS
Sementara itu, Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf sampai kini mengaku
masih menunggu hasil kajian dari Kemendikbud terkait wacana penerapan
FDS yang digagas Mendikbud.
“Sejumlah sekolah di beberapa kota sebenarnya sudah menerapkan FDS, tapi
di tempat lain seperti di Trenggalek, di desa-desa masih perlu waktu
penyesuaian,” ujar Gus Ipul panggilan Saifullah Yusuf kepada wartawan,
beberapa waktu lalu.
Selain konsep FDS yang harus dimatangkan, sarana dan prasarana termasuk
kesiapan para guru juga harus menjadi pertimbangan untuk penerapan FDS
di seluruh wilayah.
“Jauh sebelum adanya konsep FDS, di daerah-daerah sudah banyak yang
menerapkan model pembelajaran dasar berlanjut mulai pagi ditambah sore
hari. Di pedesaan Jatim dikenal dengan konsep madrasah diniyah yang
menampung murid sekolah dasar dengan model belajar dan bermain setelah
sekolah formal selesai,” ujar Gus Ipul. Ia pun memberi contoh, ada lima
sekolah di Kabupaten Pasuruan yang menjadi pilot project konsep FDS.
Menurut dia, madrasah diniyah sejak dulu juga mengajarkan pembelajaran
karakter di samping juga menyediakan pembelajaran agama dan tempat
bermain bagi anak-anak. “Jadi saya juga mendorong agar bupati-wali kota
agar menyediakan pendidikan tambahan. Seperti di Pasuruan itu malah
sudah ada Perda Madrasah Diniyah yang merekomendasikan sehabis sekolah
umum, sorenya anak didik lantas diajarkan agama melalui madrasah
diniyah,” katanya.
Di Surabaya sendiri, konsep FDS sudah diterapkan di SD Muhammadiyah 4
Pucang Surabaya untuk tahun ajaran 2016/2017. Guna menyukseskan program
itu, pihak sekolah sudah menganggarkan untuk intensif guru sebesar Rp 31
juta. Edy Susanto, Kepala SD Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya
menambahkan, bahwa program FDS sudah dicanangkan sebelum Kemdikbud
memberlakukan gagasan FDS.
“Ini memang untuk memenuhi kebutuhan akan perubahan. Hanya saja FDS
diberlakukan bagi siswa kelas 3 hingga kelas 6, sedang siswa kelas 1 dan
2 belum perlu disertakan model tersebut,” ujar Edy. Ia menambahkan,
implementasi FDS di SD yang dipimpinnya tidak sampai menimbulkan
polemik, bahkan mayoritas wali murid memberikan dorongan dan siap
memberikan bantuan. Sekolah lain yang menerapkan kebijakan serupa adalah
Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya. Di sekolah ini penerapan FDS
lebih lama dan meliputi jenjang SD, SMP, dan SMA.
“Sejak berdiri tahun 2000, kami sudah menerapkan FDS, mulai SD, SMP, dan
SMA,” tutur Humas SAIM Surabaya, Hamdiya, dikonfirmasi, Senin (22/8).
Kegiatan belajar mengajar (KBM) di SAIM di mulai pukul 08.30 WIB dan
selesai sekitar pukul 15.00 WIB.
Hamdiya optimistis, konsep FDS bisa diterapkan di semua sekolah jika
pengelola lembaga pendidikan menginginkan karakter anak didik yang
jempolan. Ia mengakui, yang paling utama dibenahi adalah sumber daya
manusia (SDM), yakni guru. Jika menggunakan wacana FDS, guru harus
inovatif agar pembelajaran menjadi menyenangkan.