Presiden Joko Widodo memutuskan untuk meningkatkan status Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
menjadi sebuah Peraturan Presiden (Perpres).
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menyampaikan hal
tersebut. Ia mengaku telah memberikan rekomendasi kepada Presiden agar
setiap sekolah diwajibkan membentuk gugus tugas pencegahan kekerasan,
termasuk mengalokasikan anggaran untuk gugus tersebut.
"Itu sudah dibicarakan bersama Presiden dalam ratas awal tahun ini dan
Presiden memutuskan meningkatkan statusnya dari Permendikbud menjadi
Peraturan Presiden," ujar Anies di Kantor Kemendikbud, Jakarta Selatan,
Rabu (11/5).
Menurut Anies, peningkatan status peraturan itu perlu dilakukan,
sehingga mempunyai kekuatan lebih besar dalam menginstruksikan
sekolah-sekolah yang ada di daerah. Ia menyebutkan, jika peraturan hanya
berbentuk Permendikbud, maka tidak bisa menginstruksikan ke pemerintah
daerah.
Selain membentuk gugus tugas pencegahan kekerasan, papar Anies, sekolah
juga diharuskan memiliki papan pengumuman yang berisikan informasi
nomor-nomor telepon yang bisa dimintai bantuan jika seorang siswa
mengalami atau menyaksikan peristiwa kekerasan.
Mantan Rektor Universitas Paramadina itu menuturkan, papan informasi
tersebut berukuran 80x120 cm. Nomor-nomor yang ditampilkan termasuk
milik kepala sekolah, kepala dinas, kantor kabupaten atau kota, kantor
gubernur, kepolisian sektor, kepolisian resor, hingga Kemendikbud.
"Seringkali di sekolah enggak bisa ke mana-mana. Anda sering enggak
menyaksikan di sekolah ada siswa diintimidasi. Terus minta tolong ke
mana. Sekarang setiap sekolah harus memasang (papan informasi) itu di
serambi sekolah," katanya.
Tak berhenti di sana, Anies juga berniat untuk memberikan panduan kepada
orang tua, pihak sekolah, dan guru mengenai bagaimana berkomunikasi
dengan anak-anak untuk menghindari risiko kekerasan yang biasanya berupa
ajakan-ajakan.
"Tapi kejadian akhir-akhir ini di luar sekolah, maka kami merasa sekolah
harus bantu preventif. Meski kejadiannya tidak di dalam sekolah, bukan
berarti sekolah diam," ujarnya.
Ia menjelaskan, kepala sekolah harus berbicara kepada guru soal panduan
berkomunikasi mengenai apa yang harus dilakukan agar anak-anak bisa
menghindar dari ajakan yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan.
Guru berkewajiban menyampaikan hal itu kepada para siswanya dan wali
murid.
"Panduannya ada. jadi kami akan sebarkan panduan itu ke seluruh orangtua lewat sekolah," katanya.
Anies mengimbau agar masyarakat memperhatikan perilaku anak-anak yang
dalam usia tertentu sudah mulai bergaul, berkumpul, dan banyak
menghabiskan waktu bersama teman-teman seusianya.
"Jadi kalau menyaksikan ada tempat berisiko, jangan diam. Bicarakan
dengan RT, RW, Polsek sehingga terhindar dari kejadian-kejadian (yang
tidak diinginkan)," ujarnya.
Pada awal tahun ini, Anies pernah menjelaskan bahwa Permendikbud Nomor
82 Tahun 2015 berisikan tiga komponennya, yakni penanggulangan, sanksi,
dan pencegahan. Ia berpandangan, penanggulangan harus menjadi komponen
pertama, karena data menyebutkan bahwa 84 persen siswa mengaku pernah
mengalami kekerasan di sekolah, sementara 75 persen siswa mengaku pernah
melakukan kekerasan di sekolah.
Dalam peraturan itu, tutur Anies, pemerintah daerah diharuskan untuk
membentuk tim adhoc penanggulangan kekerasan, yang terdiri dari tokoh
masyarakat, penggiat pendidikan, psikolog, dan orangtua yang ada di
lingkungan itu.
Di sisi Kemendikbud, ucap Anies, pihaknya telah melakukan upaya
penanggulangan dengan membentuk tim penanggulangan independen, terutama
untuk kasus-kasus kekerasan yang berat.
Menurutnya, selama ini tidak pernah ada sanksi yang diberikan kepada
sekolah, sehingga jika terjadi kekerasan, sekolah tidak memiliki pedoman
mengenai apa yang harus dilakukan, selain menyelesaikan secara
kekeluargaan atau membawa ke ranah hukum.
Oleh karenanya, Anies menegaskan bahwa mulai sekarang, dengan
dibentuknya payung hukum berupa Perpres, pemerintah memilki aturan yang
menindak anak didik yang melakukan kekerasan dengan memberikan sanksi
dan teguran.
Teguran tersebut, ucapnya, juga akan muncul dalam rapor, sehingga
menjadi catatan tersendiri. Sementara guru dan tenaga pendidikan yang
terbukti lalai atau melakukan pembiaran akan mendapatkan sanksi tegas.
"(Anak didik yang melakukan kekerasan) akan ada pembinaan, tentu saja.
Kami juga garis bawahi bahwa sekolah harus menjamin hak anak untuk
mendapatkan pendidikan. Jadi, jangan karena ada masalah, terus langsung
dikeluarkan. Kalau dikeluarkan itu artinya masalahnya tidak selesai.
Dipindahkan saja, tidak bisa anak diberhentikan," katanya.